NIKAHKU NIKAH BUDAYA
Sebuah kebudayaan adalah suatu hal yang patut kita hormati dalam kehidupan sosial. Hal ini dilatarbelakangi sejarah, kebiasaan dan tingkah laku setiap tempat berlakunya kebudayaan tersebut. Berbeda halnya pula dengan sebuah hukum dalam masyarakat, sebagaimana menurut soecipto raharjo bahwa hukum adalah sebuah komponen yang mempunyai tujuan tertentu.
Dari kedua hal tersebut Dalam KHI pasal 25 bahwa diterangkan tentang syarat seorang saksi adil dalam pernikahan, hal ini adalah sebuah hukum islam yang tersurat dalam kitab-kitab fiqh. Lalu hal ini di sahkan oleh pemerintah Indonesia sebagai sebuah Hukum yang di kodifikasikan dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam.
Dalam penerapannyaKompilasi Hukum Islam masih perlu dengan pengembangan budaya yang ada di Indonesia seperti yang tertuang pada UU No 1 tahun 1974. Dalam KHI pasal 25 ditrangkan bahwa saksi yang adil juga termasuk syarat terlaksananya akad pernikahan, namun adil itu sendiri masih belum jelas, karena menurut beberapa Imam Madzhab mempunyai alasan mengenai adil yang seperti apa. Dapat diambil kesimpulan bahwa Kompilasi Hukum Islam tersebut tidak menerangkan secara jelas karena adil adalah sebuah opini masyarakat tertentu yang berbeda-beda.
Kantor Urusan Agama sebagai salah satu lembaga yang berwenang sebagai pencatat pernikahan mempunyai wewenang dalam mencatat dan menyaksikan pernikahan, menurut pak miftah selaku kepala kantor urusan agama kecamatan jombang, menurut beliau meskipun tidak ada sebuah kewajiban pegawai pencatat nikah dalam pemilihan saksi nikah, namun perlu adanya klasifikasi dari pegawai pencatat nikah karena mayoritas masyarakatnya kurang faham dengan hukum fiqh yang telah disebutkan.
Dalam pengklasifikasian pegawai pencatat nikah, mereka menetapkannya menitikberatkan pada kondisi masyarakat, karena adil dan tidaknya hanya tuhan yang tahu, jadi hal ini dilihat dari kebudayaan masyarakat tertentu.